04 Januari 2008

Tantangan Ekonomi Syariah Dan Peranan Ekonom Muslim

Oleh: Agustianto
Kemunculan ilmu Islam ekonomi modern di panggung internasional, dimulai pada tahun 1970-an yang ditandai dengan kehadiran para pakar ekonomi Islam kontemporer, seperti Muhammad Abdul Mannan, M. Nejatullah Shiddiqy, Kursyid Ahmad, An-Naqvi, M. Umer Chapra, dll. Sejalan dengan itu berdiri Islamic Development Bank pada tahun 1975 dan selanjutnya diikuti pendirian lembaga-lembaga perbankan dan keuangan Islam lainnya di berbagai negara. Pada tahun 1976 para pakar ekonomi Islam dunia berkumpul untuk pertama kalinya dalam sejarah pada International Conference on Islamic Economics and Finance, di Jeddah.

Di Indonesia, momentum kemunculan ekonomi Islam dimulai tahun 1990an, yang ditandai berdirinya Bank Muamalat Indoenesia tahun 1992, kendatipun benih-benih pemikiran ekonomi dan keuangan Islam telah muncul jauh sebelum masa tersebut. Sepanjang tahun 1990an perkembangan ekonomi syariah di Indonesia relatif lambat. Tetapi pada tahun 2000an terjadi gelombang perkembangan yang sangat pesat ditinjan dari sisi pertumbuhan asset, omzet dan jaringa kantor lembaga perbankan dan keuangan syariah. Pada saat yang bersamaan juga mulai muncul lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam, walaupun pada jumlah yang sangat terbatas, antara lain STIE Syariah di Yogyakarta (1997), D3 Manajemen Bank Syariah di IAIN-SU di Medan (1997), STEI SEBI (1999) , STIE Tazkia (2000), dan PSTTI UI yang membuka konsentrasi Ekonomi dan Keuangan Islam, pada tahun 2001.

Lima tantangan dan problem besar
Namun demikian, sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat terhadap ekonomi dan perbankan Islam, ekonomi Islam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan-tantangan yang besar. Dalam usia yang masih muda tersebut, setidaknya ada lima problem dan tantangan yang dihadapi ekonomi Islam saat ini, pertama, masih minimnya pakar ekonomi Islam berkualitas yang menguasai ilmu-ilmu ekonomi modern dan ilmu-ilmu syariah secara integratif. . Kedua, ujian atas kredibiltas sistem ekonomi dan keuangannya, ketiga, perangkat peraturan, hukum dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun internasional masih belum memadai . Keempat, masih terbatasnya perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam dan masih minimnya lembaga tranining dan consulting dalam bidang ini, sehingga SDI di bidang ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas dan belum memiliki pengetahuan ekonomi syariah yang memadai. Kelima , peran pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, masih rendah terhadap pengembangan ekonomi syariah, karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan mereka tentang ilmu ekonomi Islam
Gerakan Menghadapi Tantangan
Sadar akan berbagai problem tersebut ditambah dengan kondisi ekonomi bangsa (umat) yang masih terpuruk, maka tiga tahun lalu, para ekonom muslim yang terdiri dari akademisi dan praktisi ekonomi Islam se-Indonesia berkumpul di Jakarta, tepatnya di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3 Maret 2004 dalam sebuah forum Konvensi Nasional Ekonomi Islam. Keesokan harinya, bertempat di Universitas Indoensia, yakni pada tanggal 4 Maret 2004, dideklarasikan-lah lahirnya sebuah wadah Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) oleh para tokoh ekonomi Islam nasional, Gubernur Bank Indonesia, BurhanuddinAbdullah, ulama (MUI), K.H Maruf Amin, Direktur Utama Bank Muamalat, A.Riawan Amin, Ketua Umum BAZIS saat itu Ahmad Subianto, dan pakar ekonomi Islam dari Timur, Prof. Halidey, dan disaksikan ratusan ahli/akademisi dan praktisi ekonomi syariah se Indoensia.
Dari acara konvensi nasional dan deklarasi IAEI tersebut perlu dicatat, bahwa para akademisi, praktisi, ulama dan regulator (BI), bergabung, bersinergi dan memiliki visi yang sama untuk mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia, setelah sehari sebelumnya mendapat dukungan dan respon positif dari Wakil Presiden Republik Indonesia, Hamzah Haz, saat itu. Ketika itu, ada keyakinan bersama, yaitu jika berbagai elemen penting dari umat tersebut bersinergi, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, ekonomi Islam akan mampu memberikan konstribusi yang besar dan nyata bagi pembangunan ekonomi bangsa yang sekian lama terpuruk dalam krisis moneter dan ekonomi.
Oleh karena itu IAEI merumuskan visinya, yaitu menjadi wadah para pakar ekonomi Islam yang memiliki komitmen dalam mengembangkan dan menerapkan ekonomi syariah di Indonesia.
Sebagai sebuah wadah assosiasi para pakar dan profesional, IAEI lebih mengutamakan program pengembangan Ilmu Pengetahuan di bidang ekonomi syariah melalui riset ilmiah untuk dikonturibusikankan bagi pembangunan ekonomi, baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Karena itu IAEI terus bekerja membangun tradisi ilmiah di kalangan akademisi dan praktisi ekonomi syariah di Indonesia.
Misi IAEI selanjutnya ialah menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas di bidang ekonomi dan keuangan Islam melalui lembaga pendidikan dan kegiatan pelatihan. Juga, membangun sinergi antara lembaga keuangan syariah, lembaga pendidikan dan pemerintah dalam membumikan ekonomi syariah di Indonesia. Selain itu IAEI juga akan berusaha membangun jaringan dengan lembaga-lembaga internasional, baik lembaga keuangan, riset maupun organisasi investor internasional
Peranan IAEI
Dalam perjalanannya yang masih relatif baru, IAEI telah banyak berperan dalam mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia. IAEI telah banyak menggelar berbagai kegiatan, walaupun dengan dukungan dana yang terbatas, seperti Simposium Kurikulum Nasional, Rapat Kerja Nasional I IAEI di Arthaloka, PNM, Seminar Perbankan Syariah, dsb.
IAEI juga telah melaksanakan Muktamar IAEI di Medan pada 18-19 September 2005 yang dirangkaikan dengan Seminar dan Simposium Internasional Ekonomi Islam sebagai Solusi. Pada momentum itu juga dilakukan penyunan draft blueprint Ekonomi Islam Indonesia.
Pasca muktamar IAEI juga telah banyak dilaksanakan berbagai program lkegiatan, antara lain, mendorong dan mengadvise diselengarakannya kajian, konsentrasi maupun Program Stdui Ekonomi islam, baik di D3, S1, S2 maupun S3 Ekonomi Islam. Berbagai kegiatan seminar dan workshop ekonomi syariah telah digelar, Silaturrahmi Nasionalk IAEI, diskusi ilmiah bulanan antar kampus yang secara rutin dilaksanakan.
IAEI juga berperan aktif dalam penyusunan draft Kompilasi Hukum Ekonomi Islam Indoneia yang diprakarsai baik oleh BPHN (Departemen Hukum dan Perundang-Undangan) maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selain itu, IAEI seringkali diundang sebagai pembicara (nara sumber) dalam forum-forum ilmiah tentang ekonomi Islam, baik taraf nasional maupun internasional. IAEI juga telah beberapa kali memberikan materi ekonomi dan bank syariah kepada para ulama, seperti terhadap Korps Muballigh Jakarta dan Majalis Ulama di daerah. IAEI juga telah bekerjasama dengan FoSSEI melaksakanan Olympiade Ekonomi Syariah memperebutkan piala bergilir IAEI sejak tahun 2007. Penerbitan buletin ekonomi syariah dan penulisan artikel ekonomi syariah di koran juga telah banyak dilakukan IAEI.
Selain itu, IAEI juga telah membentuk kepengurusan IAEI di berbagai wilayah propinsi, daerah serta komisariat-komisariat di berbagai Perguruan Tinggi. Banyak di antaranya telah dilantik sebagai pengurus IAEI wilayah maupun komisariat. Kini terdapat lebih dari 30 Pengurus DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) dan Komisariat IAEI yang tersebar di seluruh Indonesia.
Penutup
Demikianlah peran ekonom muslim yang tergabung dalam IAEI diusianya yang relatif muda tersebut. Mudah-mudahan peranan yang dimainkan IAEI di masa depan lebih besar dan signifikan lagi untuk menegakkan ekonomi yang berkeadilan yang membawa rahmat bagi semua elemen bangsa. Selanjutnya diharapkan semua lembaga ekonomi syariah, regulator, ulama, akademisi, para pengusaha (aghniya) hendaknya bersinergi menyatukan langkah membangun bangsa ini, karena IAEI sebagai sebuah wadah para ahli ekonomi Islam tidak akan mampu menghadapi tantangan dan problem besar yang sedang kita hadapi tanpa adanya sinergi dan kebersamaan di antara berbagai elemen tersebut. Dengan mengharap bantuan Allah dan komitmen kita bersama Insya Allah kemaslahatan bangsa (kesejahteraan material dan spiritual) dapat terwujud. Amin (Penulis adalah Sekjen IAEI, Dosen Pascasarjajan PSTTI Ekonomi dan Keuangan Islam Universitas Indonesia dan Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

Bayi Umur 24 Hari Bisa Bicara

Sampang (ANTARA News) - Ahmad Khotib, bayi pasangan Haji Safuri (40) dan Ny. Mariyatun (25) warga Desa Pandiangan Kecamatan Robatal Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, bisa berbicara walau baru berusia 24 hari.Bayi yang lahir sembilan bulan dan dalam keadaan normal fisik itu, lahir Selasa (14/2) siang di kediamannya dan diberi kemampuan mengucapkan kalimat yang pernah diucapkan Nabi Isa As, Jumat (10/3) dini hari."Sebelumnya dia nangis seperti mengalami kesakitan yang berlebihan dan baru tenang sekitar jam 24:00 WIB, namun pada pukul 02:00 WIB, ia terbangun dan melafadzkan kalimat 'Waman Adlamu Wamantarakahum Fi Dzulumatil Layubsirun' dan diulangi sampai tiga kali," kata Haji Safuri, Minggu saat ditemui ANTARA News.Mereka yang dikarunia anak pertama sejak perkawinannya tujuh tahun lalu itu mengaku ketakutan dengan kejadian tersebut, karena diyakini akan ada peristiwa besar yang akan menimpa anaknya.Meskipun keanehan itu tidak dapat diartikan oleh kedua orang tuanya, peristiwa itu membuat dirinya ingat pada dosa-dosa yang diperbuat selama hidupnya."Anak kami semoga berumur panjang dan tidak terjadi hal-hal yang aneh lagi," harap Safuri yang menempati rumah gedek berlantai tanah itu.Untuk mengartikan peristiwa yang menimpa anaknya, ia mendatangi para tokoh Ulama setempat.Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Darul Amien Desa Pandiangan Kecamatan Robatal Sampang, KH. Abd. Malik, peristiwa tersebut dialami oleh Nabi Isa dan kalimat yang diucapkan sama persis."Kalimat itu pengakuan Nabi Isa As tentang kebenaran ajaran Islam," kata Malik.Ia yakin, peristiwa yang juga terjadi pada Juret seratus tahun dari kenabian Isa As, dan saat ini dialami Ahmad Khotib itu karena karunia dari Allah SWT. "Itu karuni Allah bukan jin," tegasnya.Ia juga menjelaskan nama bayi yang diberikan oleh orang tuanya itu sama dengan nama ulama besar di Desa Pandiangan seratus tahun lalu (sesepuh ulama).Hal yang sama juga disampaikan KH Sayyidi Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihklas Desa setempat."Itu kebesaran Allah, karena kalimat yang diucapkan itu mempunyai arti bahwa barang siapa yang mengingkari orang-orang Islam dengan kedzaliman, maka orang tersebut akan tertutup," kata Sayyidi singkat.Sementara, kabar bayi yang bisa bicara pada usia 24 hari tersebut mulai tersebar ke tetangga desa, ribuan warga berdatangan meskipun rumahnya 90 Km dari jantung kota Sampang.(*)

Indahnya Poligami

Dr. Gina Puspita : "Anak Saya Senang Memiliki Ibu yang Banyak"

Dr. Gina Puspita, bercerita seputar pengalamannya praktik poligami dengan sang suami, Dr. Abdurahman Riesdam Efendi. Ini cerita pengalaman indahnya
Sudah hampir sepekan wacana poligami secara terus-menerus diulas di berbagai media massa. Banyak yang setuju dan tak sedikit yang sinis. Diantara yang sinis, tentu saja para aktivis perempuan dan para pengagum feminisme. Sabtu (9/12) kemarin, Koalisi Perempuan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak praktik poligami. Alasannya, poligami melanggar hak-hak perempuan serta rawan terhadap kekerasan psikis dan fisik. Benarkah?
Kali ini hidayatullah.com mewawancarai Dr. Gina Puspita. Sebelum ramai-ramai berkembang wacana poligami, istri pertama Dr. Abdurahman Riesdam Efendi ini boleh jadi diantara sekian Muslimah yang merasakan sendiri pengalaman "dimadu". Tidak seperti umumnya pria yang ingin menikah lagi, ia mencarikan sendiri calon untuk pasangan suaminya itu.
Tahun 1995, Abdurahman menikah lagi untuk yang kedua dengan Basyiroh Cut Mutia. Enam tahun kemudian, ia menikah yang ketiga dengan Siti Salwa asal Malaysia. Dan yang terakhir, menikah dengan Fatimah. Praktis ia memiliki empat orang istri.
Jangan keliru, semua istri mudanya ini bukan pilihan sang suami, justru pilihan Gina alias sang istri pertamanya. Tak seperti dugaan aktivis perempuan selama ini, di mana poligami dianggap begitu rendah dan rawan konflik. Mereka berempat justru sangat rukun dan bahagia. Bahkan bekerja di kantor yang sama dan tinggal seatap, tanpa ada masalah.
''Kalau suami sedang dengan istri yang lain, kami bertiga ngobrol-ngobrol di satu kamar,'' tutur kepada sebuah media Jakarta. Bila berada di luar kota, mereka bertukar pesan lewat SMS. Pokoknya, akrab. ''Poligami yang didasarkan pada Allah SWT tidak akan menimbulkan masalah.'' tambah mantan Kepala Departemen Structure Optimizition Divisi Riset & Development IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) ini di sebuah harian di Jawa Barat.
Apa kabar Anda dan keluarga?
Kami sekeluarga alhamdulillah sehat,semoga kesehatan yg dirahmati Allah.
Lama tak dengar kabarnya, apa kesibukan Anda terbaru?
Selama kurang lebih 2 tahun terkahir kami banyak berada di Malaysia. Alhamdulillah perusahaan yangg dipimpin oleh guru kami Abuya Ashaari (pendiri Darul Arqam yang dilarang mantan PM Mahathir Mohammad-- berkembang pesat di sana. Kebetulan Tuhan rizqikan kami untuk ikut serta beraktifitas di sana selama 2 tahun. Setelah di sana terasa manfaatnya untuk kalangan luas, dan perusahaan terus berkembang ke berbagai negara di Asia, Eropa, Timur Tengah, maka mulai 2 bulan belakangan ini kami mulai menguatkan kembali aktifitas perusahaan Rufaqa di Indonesia.
Saya dengar Anda juga punya proyek besar di Malaysia? boleh tahu?
Di malaysia bukan proyek saya tapi perusahaan yang dipimpin oleh guru saya, Abuya Ashaari Muhammad. Dari tahun 1997 beliau mendirikan perusahaan Rufaqa namanya yang bergerak di berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, kebudayaan dll. Kalau mau jelas, boleh kunjungi website nya www.rufaqa.com & www.rufaqadaily.com.
Sepekan ini banyak orang sibuk mendiskusikan poligami, apa pendapat Anda?
Segala kejadian Allah yang menentukan. Diantara sekian banyak hikmahnya, Allah nampaknya mau menunjukkan keadaan masyarakat sekarang ini. Dan kita bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Sebenarnya ada dua kejadian yang terjadi secara serentak. Pertama tentang poligami-nya Aa Gym, kedua, monogami nya anggota DPR RI, tapi selingkuh. Tapi yang diramaikan hanya poligaminya. Bahkan poligami mau dilarang segala. Hehehe
Yang menarik, sikap masyarakat terbelah dua. Kasus monogami selingkuh menjadi kasus cukup besar. Tapi poligami, pernikahan secara sah justru yang dikatakan zalim. Padahal menurut saya, monogami selingkuh itu jauh lebih menzalimi perempuan. Seperti wanita ini tak ada harganya.
Menurut Anda, mengapa masyarakat justru seperti itu?Saya tak menyalahkan masyarakat. Itulah keadaan masyarakat yang kita perlu rasakan sebagai peringatan Allah pada kita. Mungkin kita gagal membawa kebaikan di tengah masyarakat ini. Saya juga maklum kenapa banyak masyarakat awam begitu membenci poligami, kerana memang susah mau mencari poligami yang dapat dijadikan teladan di indonesia sekarang ini. Yang lebih menyedihkan, yang sekarang berlaku bukan sekedar diskusi tapi penafsiran-penafsiran terhadap Rasulullah yang sifatnya merendahkan beliau. Jauh sekali daripada mencari solusi. Lagi pula, mengapa banyak orang sibuk membicarakan poligami atau bahkan terkesan begitu ketakutan. Padahal dalam Islam, poligami haya sekedar satu dari sekian ribu syariat dalam agama kita.. Jadi dia bukan perkara yang wajib. Tapi kok yang biasa-biasa menjadi masalah Negara. Padahal Shalat yang berkali-kali Allah katakan sebagai "tiang agama" pun, Negara tak pernah peduli apakah manusia melakukannya?
Anda termasuk diantara pelaku, sebelum banyak orang melakukan. Bisakan bercerita pengalaman poligami?
Islam itu adalah "cara hidup". Selain tentang Allah yang utama, di dalamnya ada juga syariat yang beribu jenisnya, yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Sepertimana janji kita dalam setiap kali shalat, "inna shalolati wa nusuki… (dst), "hidup mati kita untuk Allah, maka tentulah sebagai seorang Muslim, kita perlu wujudkan janji kita dalam kehidupan. Kita atur individu kita, ekonomi kita, pendidikan kita, kebudayaan kita, rumah tangga kita, menurut Islam. Hal ini tidak dapat kita wujudkan sendiri-sendiri. Misalnya untuk mewujudkan pendidikan Islam, perlu guru dan murid. Kalau sendirian mana mungkin dapat terwujud. Itulah yang kami lakukan melalui perusahaan Rufaqa ini. Sama halnya dengan masalah rumah tangga.
Setelah kami dididik oleh guru kami, kami (saya dan suami) merasakan bahwa Allah mesti dijadikan segalanya. Syariat Islam mesti diperjuangkan. Dengan melihat keluarga guru kami yang memiliki 4 istri dan 37 anak, 200 cucu, namun semua justru menjadi pendukung perjuangan Islam. Maka kami melihat (bukan sekedar membaca buku atau hanya mendengar), bahwa poligami juga dapat kita laksanakan. Atas kesepakatan bersama itulah, saya dan suami –tentu saja atas persetujuan guru kami-- maka kami tambahkan anggota keluarga kami dengan mengambil salah seorang staf Rufaqa sebagai istri kedua untuk suami saya.
Siapa yang mencari dan melamarkannya?
Saya sendiri yang datang pertama kali dan menjelaskan pada orang tuanya untuk menyampaikan hasrat kami.
Apa sih yang ada di perasaan Anda saat mencarikan suami istri lagi?
Karena dari awal memang sama-sama berniat (saya, suami dan istri kedua) untuk menguatkan keluarga, maka, masalah-masalah dalam keluarga dapat diatasi dengan baik. Bertambah terasa kehebatan Allah. Ternyata belum lagi kita baik, baru niat mau baik, tapi Allah sangat memberikan bantuan-Nya.
Apakah setelah poligami pernah cekcok? Atau cemburu?
Kalau beda pendapat sih dalam rumah tangga itu hal yang biasa. Jangankan di keluarga yang praktik poligami, dalam rumah tangga monogami pun ada. Tapi karena sama-sama sudah dididik oleh guru yang sama, jadi setiap kali ada masalah, masing-masing berusaha untuk dapat menilai yang baik di sisi Allah. Bila semua mempunyai tujuan yang sama yaitu keridhaan Allah, perkara apapaun selalu jadi mudah. Kami berempat serumah. Kecuali sekarang ini, dua orang sedang bertugas di Malaysia.
Menjadi istri "dimadu" apa tak membuat martabat Anda sebagai seorang perempuan terhina?
Saya hendak mengingatkan kita bahwa dalam menilai sesuatu, karena zaman ini sudah rusak, maka nilai-nilai manusia/moral juga sudah sangat jauh dari kehendak Allah. Contoh saja; para wanita mengatakan dirinya merasa "dihina" dengan poligami. Padahal itu kan memang boleh menurut Islam. Tapi wanita diminta buka aurat, ia menjadi tontonan. Tak satupun menganggap dirinya merasa terhina. Padahal itu adalah keadaan yang sangat menghinakan. Wanita sudah hilang malunya karena ketiadaan iman.
Poligami itu, bila dijalankan dengan tujuan membesarkan Allah, kita akan merasakan bahwa itu sangat baik untuk pendidikan hati kita. Kita akan tahu bahwa kita belum sabar. Maka, kita akan belajar untuk bersabar. Kita bisa tahu bahwa di hati kita ada hasad dan dengki. Cemburu itu adalah hasad dan dengki adalah puncaknya. Lalu kita belajar untuk tidak hasad atau dengki hingga timbul rasa tidak membahagiakan orang lain.
Bukankan manusia normal tak menginginkan suaminya jadi rebutan wanita lain?
Jadi, bila dikatakan manusia normal tidak mau dipoligami? Manusia normal itu seperti apa? Apakah istri-istri Rasulullah bukan wanita normal? Menurut saya, manusia normal itu adalah manusia yang tahu dirinya hamba dan Allah sebagai Tuhannya. Tentu dia akan sangat mencintai Tuhan Nya. Dan dirinya akan merasakan bahwa syariat Allah adalah yang terbaik. Bahkan sekarang kadang saya merasa malu dengan Allah. Malu, mengapa "orang jahat" seperti saya tapi Allah masih memberi rasa kebaikan-kebaikan dalam poligami. Kalau saya saja yang menganggap "masih jahat" dan masih diberi banyak kebaikan oleh Allah, bagaiman pula kehebatan keluarga Rasulullah?.
Anda tidak takut, rasa cinta suami Anda tak akan seperti di awal pernikahan? karena akan terbagi?
Tidak. Sebab suami dan kami punya cita-cita yang sama. Untuk mencintai Allah. Dan mencintai Allah itulah yang dapat menambah kuat ikatan diantara kami semua. Perlu kita sadari, kerana manusia sudah tidak menganggap Tuhan segalanya, maka bila berumahtangga, dia menganggap suami adalah segala-galanya. Ya dengan kata lain, cinta suami. Padahal, kalau kita membesarkan cinta pada Allah, maka Allah sendirilah yang akan mebagi kebahagiaan itu.
Bagaimana dengan kebutuhan finansial dan pembagian perhatian terhadap anak-anak Anda suami menikah lagi?
Alhamdulillah Allah bukan saja mencukupkan, tapi menambah-nambah. Dan alhamdulillah, anak-anak kami semua justru bersyukur dengan poligami. Kemarin anak saya yang berumur 10 tahun diwawancara sebuah majalah. Dia mengatakan, begitu senang memiliki ibu banyak. Banyak tapi sayang. Dia pernah melihat seorang aktifis perempuan begitu keras berkata tentang poligami. Anak saya mengatakan, "Ini perempuan bercakap bukan dengan akal lagi, tapi dengan nafsu. Sangat emosional. Padahal, kami (anak-anak saya maksudnya) suka dengan itu . tak ada penzaliman."
Apakah mungkin seorang suami bisa membagi perhatian tiga orang istri dengan banyak anak berbeda-beda misalnya?
Bisa. Bahkan hubungan anak-anak semua sangat baik. Tak ada perbedaan dia dari ibu yang mana. Suami saya baru memiliki 4 orang anak. Tiga dari saya dan 1 dari istri kedua. Istri ketiga dan keempat belum dikaruniai anak.
Banyak aktivis perempuan mengkritik poligami, apa pandangan Anda menghadapi kritikan itu?
Jangankan untuk hal poligami, gerakan kaum feminis hingga sekarang ini, belum mendapatkan kejayaan. Patutnya sekiranya jika mereka melihat gagalnya perjuangan kaum feminis di Prancis yang menjadi sumber awalnya. Saya pernah 11 tahun di Prancis melihat sampai sekarang, di sana gerakan tersebut boleh dikatakan tidak membuahkan hasil, yang ada justru kesengsaraan bagi kaum wanitanya. Banyak orang berkonsultasi dengan saya. Sebab banyak hal yang diperjuangkannya tidak sesuai dengan fitrah dia. Jadi katakanlah dia mendapatkan apa yang dia mau, tapi ternyata bila sudah mendapatkan, sesungguhnya dia begitu tersiksa.
Jadi apa hikmahnya bagi Anda dan kalangan Muslimah dengan berpoligami?
Saya pernah mengatakan di media massa, "poligami itu indah dan memang perlu." Perlu bagi wanita dan lelaki sebagai pendidikan hati kita untuk dapat lebih mudah membesarkan asma Allah.
Karenanya, saya menghimbau pada semua, mari kita kembali pada Allah, Tuhan kita. Dialah penyelesai segala maslah. Sekarang ini yang jadi masalah sebenarnya bukanlah poligami. Jadi tak perlu sibuk memerangi poligami. Sama halnya sekarang banyak orang shalat tapi masih korupsi. Lantas apakah dengan begitu kita akan memerangi shalat? Banyak masalah lain yang kita perlu selesaikan.
Pendidikan kita sedang bermasalah. Ekonomi kita bermasalah. Kebudayaan dan semua aspek kehidupan kita sudah rusak dan itu adalah masalah. Maka mari kita kembali pada Allah. Jadikan Ia segalanya. Bila demikian akan selesailah semua masalah. Mau monogami atau poligami, jika kembali pada Allah, tetap akan membawa kehidupan yang harmoni.